Kisah Roin, Bocah yang Merantau dan Hidupi Keluarga dari Siomay Bakar

Kisah nyata, bocah yang merantau dan hidupi keluarga dari siomay bakar. Raut muka Roin berseri. Sesekali, dia mengotak-atik kompor dan gerobak dagangannya sambil menunggu pelanggan yang sudi membeli siomay bakar jajaannya.

Kerasnya hidup membuat Roin harus bekerja keras untuk mencari nafkah untuk keluarganya.
Ya, bocah lelaki seusia SD itu adalah penjual siomay bakar. Tiap hari dia menjajakan dagangannya di sekitar Desa Ngemplak Seneng, Manisrenggo, Klaten.

Sama dengan penjual siomay pada umumnya, Roin membawa barang dagangannya dengan cara dipikul. Bila tempat dagangannya jauh, biasanya dia diantar oleh sang majikan.

Roin bukan asli warga Ngemplak Seneng. Dia adalah [next] pendatang dari Brebes yang ikut juragan siomay bakar asal Brebes yang lebih dulu mapan di Klaten.

Roin tak sendiri karena ada tujuh orang lainnya yang juga ikut sang juragan. 

"Yang di rumah sekarang ada enam orang," tuturnya, Kamis (4/2/2016).

Roin disebut pemalu. Dalam melayani pembeli, dia sering menundukkan kepala, dan akan menjauh bila ditanyai orang yang kurang familiar baginya.

"Anaknya memang begitu, agak pemalu," ungkap Turadi, warga sekitar yang sering melihat Roin berjualan.

Di Ngemplak Seneng, Roin dengan tujuh kawannya tinggal serumah dengan juragan Wagi. Namun, menurut dia, kini yang tinggal di rumah tinggal enam orang. Satu orang lainnya sedang pulang ke kampung karena orangtuanya meninggal.

Yatim

Saat kebanyakan anak seusianya tengah asyik bermain dan bersekolah, Roin harus berjibaku mengais rezeki untuk mencukupi [next] kebutuhan ibu dan adiknya. Sedari kecil, dia sudah menjadi yatim.

Roin lahir dari keluarga sederhana dari kampung Citimbang, Salem, Brebes. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Karena himpitan ekonomi, Roin dan kedua kakaknya tak bisa menikmati bangku sekolah.

Aku hanya sampai kelas 4 SD," ungkap Roin.

Profesi yang kini Roin geluti adalah pilihannya sendiri. Dia bercerita bahwa tak ada yang mengajaknya berjualan siomay bakar. Namun karena melihat kakaknya yang juga ikut juragan Wagi, akhirnya dia tertarik untuk mengikuti jejak sang kakak.

"Orangtua enggak bolehin ke sini (Klaten), tapi aku sendiri yang mau ke sini," terangnya.

"Jangan, jangan pergi," ungkap Roin atas larangan ibunya.

Menurut dia, pendapatan yang diperolehnya dari jualan siomay bakar cukup lumayan meski fluktuatif tergantung minat masyarakat yang membeli.

"Kalau jualannya habis satu gerobak pendapatan kotor bisa sampai Rp 200.000," ungkap Roin.

"Ya tergantung jualannya, terkadang dikasih Rp 60.000, Rp 50.000, Rp 40.000. Seringnya dapat Rp 50.000," tambahnya.

Turadi, warga sekitar, hanya bisa menyayangkan [next] anak seumuran Roin harus berjibaku untuk urusan perut.

"Pas ta tanya pendapatan per harinya ya sekitar Rp 60.000, ya lumayan besar. Tapi masalahnya kan pendidikannya terlantar.Ngesakne lare-lare seumuran gitu," ungkapnya iba.

Meski demikian, Turadi memaklumi kondisi Roin. Pasalnya di desanya juga masih banyak anak yang putus sekolah, dan memutuskan untuk kerja di tambang pasir.

"Orang-orang sini juga banyak yang kerja setelah lulus dari SD. Kerja di tambang pasir, mayoritas begitu," unggahnya.

Juragan Wagi

Wagi, sang juragan siomay bakar, menuturkan bahwa selama ini, dia tidak pernah mengajak orang-orang di desa asalnya untuk [next] ikut berjualan bersamanya. Semua orang yang ikut dengannya berjualan atas kemauannya sendiri.

Wagi menuturkan bahwa anak-anak kecil di kampung halamannya di Citimbang, banyak yang putus sekolah. Kemiskinan sangat identik di kampung kelahirannya sehingga banyak anak kecil yang memutuskan untuk kerja.

"Kalau mau komentar melanggar undang-undang, toh ini atas kemauan sendiri. Saya tak pernah mengajak," sangkalnya.

Kini ada tujuh orang yang ikut Wagi, dan dia mengakui bahwa dua di antara orang-orangnya masih di bawah umur untuk dipekerjakan.

Hasil jualan dibagi dengan sistem 30 persen untuk pegawai dan 70 persen untuk modal dan untung usaha. Dia juga menegaskan tak pernah mengharuskan para pekerjanya untuk mencapai target setoran tertentu. 

Dalam memberikan upah, Wagi tak mau langsung memberikan gaji tersebut pada anak buahnya. Gaji mereka baru akan diberikan kalau mereka pas lagi butuh atau saat pulang ke rumah.

"Yang tak kasihkan per harian cuma ala kadarnya, karena kan anak kecil, nanti kalau tak kasihkan gaji semua, kan yang namanya anak, langsung habis nanti. Biasanya pas pulang gajinya tak kasihkan, jadi setiap pegawai ada catatan gajinya," tegas Wagi.

Wagi mengatakan bahwa [next] semua pegawai yang ikut dengannya dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Semua urusan pegawai selama di tempat kerja berada atas pengawasannya.

"Pernah ada pegawai yang jatuh di sumur dan harus operasi habis Rp 9 juta. Itu yang nanggung saya," terangnya.

Wagi tak menampik kalau banyak orang yang menanyakan alasannya mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Dia hanya menjelaskan bahwa inisiatif jualan tidak datang darinya, tetapi berangkat dari keinginan sang anak atau bahkan orangtuanya.

"Kalau ingin detail keadaan kondisi perekonomian anak-anak, bisa datang ke rumah. Bisa dilihat seperti apa kondisi keluarga mereka di desa. Di sana banyak anak yang putus sekolah," tuturnya.

Dalam berjualan, Wagi juga tak pernah memaksa orang-orang yang ikut dengannya untuk tetap bekerja untuknya. Bila ada di antara mereka yang ingin pulang, mereka bakal di antar pulang.

"Pernah juga ada yang tak antar pulang karena tidak betah," ungkapnya.

Bagaimana pendapat anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar