PenelitI LIPI : Kemahasiswaan KAMMI Ajarkan Ideologi Radikalisme.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi mengatakan radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses Islamisasi. (Thinkstock/LuckyBusiness CNNIndonesia GettyImages).
Jakarta, CNN Indonesia — Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi mengatakan radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses Islamisasi. Proses itu dilakukan secara tertutup dan menurutnya, berpotensi memecah belah bangsa.
“Radikalisme ideologi jika tidak dicegah dari sekarang bukan mustahil Indonesia menjadi negara yang porak poranda dan [next] dipecah karena perbedaan ideologis,” kata Anas saat diskusi Membedah Pola Gerakan Radikal, di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (18/2).
Pasca reformasi peta gerakan mahasiswa telah berubah. Kelompok Cipayung yang sebelumnya dianggap mendominasi gerakan Islam di kampus, kini digeser oleh kelompok lain yang turut menyebarkan radikalisasi ideologi.
Anas menyebut beberapa organisasi kemahasiswaan itu, salah satunya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kelompok ini dinilai memiliki hubungan ideologis dengan kelompok radikal internasional Ikhwanul Muslimin.
“Hampir tidak ada dalam dunia mahasiswa yang tidak dikuasai oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan Hizbut Tahrir Indonesia. KAMMI adalah kepanjangan dari Ikhwanul Muslimin,” kata Anas.
Di kampus, lanjut Anas, kelompok ini lebih banyak melakukan radikalisme ideologi dengan cita-cita mendirikan negara Islam versi mereka sendiri. Jika hal ini tidak dicegah secepatnya, menurut Anas, kemungkinan besar Indonesia akan terjadi perang saudara.
Menurut peneliti LIPI Endang Turmudi, kelompok seperti Ikhwanul Muslimin memiliki pandangan keyakinan dan [next] sikap fundamentalisme puritan kaku. Mereka selalu merasa paling benar dan menganggap kelompok lain salah. Tujuan mereka membangun negara Islam, bahkan untuk mewujudkannya dibolehkan menggunakan cara-cara kekerasan
“Mereka yang tidak mendirikan negara Islam dianggap kafir, halal untuk diperangi karena thogut,” kata Endang.
Anas menuturkan, Islamisasi yang ada di dunia mahasiswa berkaitan dengan radikalisasi ideologi. Sayangnya, proses itu dilakukan secara tertutup oleh kelompok tersebut. Mereka cenderung anti kepada perbandingan mazhab dan monolitik.
“Sebagian besar orang membaca bukunya Gus Dur atau Nurkholis itu diharamkan, akibat monolitik inilah yang menurut saya punya potensial radikalisasi ideologi. Ini ciri khas dari monolitik yang berbahaya sekali,” katanya.
Radikalisme ideologi yang dilakukan di kampus juga mengancam ideologi pancasila. Berdasarkan hasil riset, kata Anas, mahasiswa yang belajar ilmu eksak lebih [next] mudah direkrut kelompok radikal dibandingkan mahasiswa di bidang ilmu sosial. Proses perekrutan, jaringan, hingga pemeliharaan jaringan mereka dilakukan secara terorganisir.
Anas menunjukkan hasil survei bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan pancasila tidak lagi relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat islam.
Sementara pada survei tahun lalu, empat persen orang Indonesia menyetujui kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka berumur antara 19-25 tahun. Sedangkan 5 persen di antaranya adalah mahasiswa.
“Kalau data ini dipercayai, maka 10 juta umat islam simpatik kepada ISIS. Itu angka yang cukup mengejutkan,” ujar Anas.
Dia meminta pemerintah turun tangan agar [next] Islamisasi di dunia mahasiswa dilakukan secara terbuka. Sehingga dalam prosesnya, mereka bisa menerima perbedaan pendapat dari berbagai kelompok.
“Dalam ranah pendidikan sebagai agensi, pemerintah harus campur tangan, Kemendiknas dan Kemenag mestinya punya cetak biru mengawasi persoalan kurikulum dari SD sampai universitas,” katanya. (bag/bag)

Bagaimana pendapat anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar