YUSRIL |
Menurut Yusril, pembebanan harga BBM ini tidak tepat walau dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan.
"Tidak pada tempatnya pemerintah memungut sesuatu dari rakyat konsumen BBM. Dari zaman ke zaman pemerintah selalu memberikan subsidi BBM kepada rakyat, bukan sebaliknya membebankan rakyat dengan pungutan untuk mengisi pundi-pundi pemerintah," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/12/2015).
Sebelumnya, pemerintah memang menurunkan Harga premium dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter, dan solar dari Rp 6700 per liter menjadi Rp 5.950 per liter. Harga baru itu mulai berlaku pada 5 Januari mendatang.
Namun Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya ada di level Rp 6.950 per liter menyusul turunnya harga minyak dunia. Pemerintah kemudian menambah Rp 200 dari nilai keekonomian itu untuk dibebankan kepada rakyat. Sementara itu, untuk solar, nilai keekonomian saat ini berskisar Rp 5.650 per liter. Namun, pemerintah menambah biaya Rp 300.
Tambahan biaya ini merupakan dana untuk program energi terbarukan yang sedang dikembangkan pemerintah. Yusril pun mempertanyakan dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk mengambil pungutan dari rakyat ini. Menurut dia, pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan pasal 30 UU Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan BBM.
Untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan, pasal tersebut menyebutkan dananya berasal dari APBN, APBD dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan. Penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD.
"Tidak ada norma apa pun dalam pasal 30 UU Energi tersebut yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM," ucap mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan ini.
Yusril menambahkan, Pasal 30 UU Energi memang menegaskan bahwa ketentuan kebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga kini PP tersebut belum ada.
Oleh karena itu, Menteri ESDM tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya.
"Kebiasaan mengumumkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum ini, seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah karena bertentangan dengan asas negara hukum yang dianut oleh UUD 1945," ucap dia. (bru*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar